Dua
Hari Sebelum dan Sesudah
(Cipt. Dwi Ditha
Putri)
Jumat,
13 Februari 2009, dua hari sebelum hari ulangtahunku yang ke-16, Citra.
08.30 pagi, guru
rapat. Membahas apa? Aku juga tak tahu dan tak mau tau. 8.30 pagi, jam ke-3
pelajaran Bahasa Inggris. Guru rapat, otomatis kelas kosong.
‘Dia’ datang ke
kelasku tanpa alasan yang kutau pasti. Tak jelas apa maksud kedatangannya, yang
jelas kedatangannya membuat jantungku menderu lebih kencang. Ada sedikit hal
yang mengecewakan, dia malah mendatangi barisan 1 paling kiri, melainkan aku
tengah duduk di barisan 5 paling kanan.
Mungkin karena
barisan 1 dekat pintu, mungkin dia tak kuasa melangkah lebih jauh, atau mungkin
kami yang tak jodoh. Kekecewaanku semakin terombang-ambing ibarat perahu di
tengah samudera, setelah aku tau disana duduk 2 sahabatku, Riska dan Riani.
Terselip sedikit
rasa takut yang menyesakkan dada. Aku takut dia menyimpan hati kepada Riska
atau Riani. Tak apa dia tak menoleh atau sekedar membalas perasaanku yang
selalu berguncang saat dia muncul. Asalkan jangan mereka, kumohon. Dia boleh
sama siapa saja, asalkan jangan sama temanku sendiri. Sakitnya itu umpama
kertas yang tersulut api, sungguh rapuh!
Di lubuk hati yang
terdalam, ku berharap dia jangan disana. Di lubuk hati yang terdalam, ku
berharap dia menatapku disini. Di lubuk hati yang terdalam, ku berharap dia
datang ke sini. Sekedar panggil namaku, sudah membuatku merasa di dunia mimpi.
Kala itu, aku
tengah duduk belajar matematika bersama temanku, Mega. “Citra, ajarin aku yang
ini dong. Aku nggak ngerti” bujuknya. Aku mengiyakan, lagi pula jam terakhir
sekolah ada ulangan matematika. Waktu berjalan 7 menit, 8 menit, 9 menit,
bahkan 10 menit, aku jenuh juga menatap rumus-rumus maut itu.
Aku memutuskan
untuk ke toilet, bukan cuma karena bosan, tapi memang sudah kebelet mikturasi
(red: mau pipis). “Riska, ke toilet yuk?”, gadis penakut sepertiku tentu perlu
seorang teman untuk menemaniku kemana-mana, termasuk ke toilet.
Tiba-tiba, Riana
datang dan berniat mengikuti kami. Aku tak tau apakah ini hanya kebetulan atau
ada makna tertentu, ‘dia’ keluar dari kelas kami tepat sama kami keluar menuju
WC. Waktu terasa berhenti, terpampang ekspresi shock di wajahku saat mukanya
terlihat jelas di depanku.
“Kenapa abang gak
masuk kelas abang?” tanya Riska. Dia menjawab singkat “bosan”. Kalau aku
pikir-pikir. Mungkinkah dia bosan? Mungkinkah dia sedang diusir karena mendapat
hukuman? Mungkinkah dia bermaksud lain? Mungkin aku yang terlalu berlebihan!
Kenapa bosan?
Kenapa ke kelas kami? Setauku, dia tidak dibully dikelasnya, XI IPA 1. Kenapa
tidak di kelasnya? Hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
Setelah selesai,
melaksanakan fungsi organ tubuhku sebagai kodrat manusia, aku kembali duduk di
samping Mega, belajar matematika di barisan 5. Sedangkan Riska dan Riana
kembali ke barisan 1.
Bosan, aku cukup
bosan. Sebenarnya aku bukan tipe siswa yang menyukai jam kosong, karena aku tak
tau apa yang harus aku perbuat. Bagusnya, Mega mengajakku, Riska, Riana bermain
Truth or Dare. Pulpen memutar ria. Slepp! Pulpen mengarah ke Riana. Ia memilih
“Truth”.
Dengan gelora
semangat yang menggebu-gebu “Hayo, lagi naksir siapa nih, Riana?”. Riana diam
terpaku, menatap segan wajah kami seolah-olah memikirkan hal yang menyangkut
nyawa seseorang. Sungguh susah, pertanyaan yang susah bagi Riana untuk menjawab
pertanyaan sederhana ini.
Sungguh tak tega
juga aku melihatnya, sehingga aku mengubah pertanyaannya “Ya udah kelasnya
aja.” “XI IPA 1”. Saat aku tahu, tak tahan aku menahan tawa, sampai menusuk ke
ulu hati.
Bagaimana bisa seorang
Riana naksir salah satu murid dari XI IPA 1? Aku hanya tak menyangka saja,
ternyata orang yang paling aku kepoin berasal dari kelas dengan image
kekanak-kanakan. “Yang pasti bukan Bang Rahmad.” sahutnya. “Lho kok bukan Bang
Rahmad?” bisik suara hati.
“Hmm, kalo bukan
Bang Rahmad, siapa dong? Bukankah Bang Rahmad yang paling good looking di kelas
itu?” pikirku heran. “jangan-jangan sama kayak a…” kataku dengan amplitude
suara yang cukup besar.
Karena dianggap
membuat keributan, aku ditegur sama Badu. Kesel juga, apalagi yang negur itu
orang yang suka membuat keributan, yang ributnya jauh lebih ribut dari pada
aku. Tepat setelah teriakanku tadi, tiba-tiba ‘dia’ muncul.
Takut, bimbang,
bingung bercampur menjadi satu paket terasa mutar-mutar di sekeliling otak.
Untung saja, kata-kata yang kuucapkan tidak sampai selesai. “a….” yang
kumaksudkan “aku”, lalu aku sambungkan menjadi “aqila”.
Tak berapa lama
kemudian, kami bosan kembali. Karena kebosanan itulah yang membuat kami bubar.
Aku dan Mega masih duduk di tempat yang sama. Hanya Riska dan Riana yang
posisinya berubah. Kami pun melakukan aktivitas masing-masing. Mega belajar,
Riska main HP, Riana main Laptop, aku sendiri noleh-noleh yang lewat karena aku
bingung harus berbuat apa.
Naluriku berkata
untuk menoleh ke belakang. Untuk kesekian kalinya aku shock melihat dia ada di
belakangku barisan 5. Aku bingung kenapa ia disini, padahal di barisan 1 dan 2
lebih banyak cowok.
Sama seperti
pertanyaanku tadi. Tak tau kebetulan atau ada maksud lain posisi dia disini.
Riska dan Riana di posisi barisan 1, dia di barisan 1 juga. Sekarang Riska dan
Riana di posisi barisan 5, dia di barisan 5 juga.
Sebelumnya, aku
telah membuat kesepakatan dengan Mega, kalau misalnya Mega sudah selesai
belajar kami akan bermain Bingo. “Ya udah yuk main?” seru Mega. “Ayolah!” jawab
Riska, padahal nggak diajak. “Ayolah main!” terdengar sahutan pria.
Tentu saja tak lain
dan tak bukan itu memang dia. Tentu saja wajahku memerah. Tentu saja detak
jantungku menjadi tidak stabil. Tentu saja kata-kata yang keluar dari mulutku
tidak lancer, sehingga terputus-putus. Intinya aku salah tingkah.
Dia bertanya
bagaimana cara bermain. Aku yang biasanya paling jago jika sedang menjelaskan,
mendadak berubah menjadi sosok yang berbeda. Pikiranku nge-blank, aku bingung
bagaimana aku harus berkata-kata jika dia tepat berada di depanku.
Permainan
berjalan seru, saking serunya dia bahkan sampai menyenggol tanganku supaya
tercoret. Mungkin dia berpikir aku bakalan kesal. Tapi tidak sama sekali,
sungguh! Aku bahkan tidak mau mencuci tanganku.
Selasa,
17 Februari 2014 dua hari setelah ulangtahunku yang ke-16.
Aku, Riska dan
Riana tengah berjalan usai jajan di kantin. Tiba-tiba seorang gadis menyergap
kami. Aku terkejut, ternyata ia hanya ingin minta tolong difotoin. Ketika aku
sedang memotret, aku merasa ada yang menatap kami.
Aku menoleh ke
kanan, ada ‘dia’ tengah menatap kami dengan tatapan yang aneh dan berbeda.
Suatu tatapan yang mengandung makna, namun sialnya aku tak tau makna di balik
tatapan itu. Aku bingung siapa yang ditatapnya. Aku Citra? Riska? Atau Riana?
Aku merasa bukan
aku. Sudut tatapannya kurang tepat dan kurang focus ke arahku, sedikit
berpaling. Mungkin efek kacamatanya, atau dia memang menoleh yang lain.
Sungguh! Tatapan
yang benar-benar berbeda dari biasanya. Kami kembali ke kelas, aku yang
ditemani rasa penasaran dan ketidaktenangan akan makna apa di balik tatapan itu.
No comments:
Post a Comment