Dwi Ditha Putri

Dwi Ditha Putri

Sunday, October 19, 2014

Dua Hari Sebelum dan Sesudah #Cerpen

Dua Hari Sebelum dan Sesudah
(Cipt. Dwi Ditha Putri)
Jumat, 13 Februari 2009, dua hari sebelum hari ulangtahunku yang ke-16, Citra.
08.30 pagi, guru rapat. Membahas apa? Aku juga tak tahu dan tak mau tau. 8.30 pagi, jam ke-3 pelajaran Bahasa Inggris. Guru rapat, otomatis kelas kosong.
‘Dia’ datang ke kelasku tanpa alasan yang kutau pasti. Tak jelas apa maksud kedatangannya, yang jelas kedatangannya membuat jantungku menderu lebih kencang. Ada sedikit hal yang mengecewakan, dia malah mendatangi barisan 1 paling kiri, melainkan aku tengah duduk di barisan 5 paling kanan.


Mungkin karena barisan 1 dekat pintu, mungkin dia tak kuasa melangkah lebih jauh, atau mungkin kami yang tak jodoh. Kekecewaanku semakin terombang-ambing ibarat perahu di tengah samudera, setelah aku tau disana duduk 2 sahabatku, Riska dan Riani.
Terselip sedikit rasa takut yang menyesakkan dada. Aku takut dia menyimpan hati kepada Riska atau Riani. Tak apa dia tak menoleh atau sekedar membalas perasaanku yang selalu berguncang saat dia muncul. Asalkan jangan mereka, kumohon. Dia boleh sama siapa saja, asalkan jangan sama temanku sendiri. Sakitnya itu umpama kertas yang tersulut api, sungguh rapuh!
Di lubuk hati yang terdalam, ku berharap dia jangan disana. Di lubuk hati yang terdalam, ku berharap dia menatapku disini. Di lubuk hati yang terdalam, ku berharap dia datang ke sini. Sekedar panggil namaku, sudah membuatku merasa di dunia mimpi.
Kala itu, aku tengah duduk belajar matematika bersama temanku, Mega. “Citra, ajarin aku yang ini dong. Aku nggak ngerti” bujuknya. Aku mengiyakan, lagi pula jam terakhir sekolah ada ulangan matematika. Waktu berjalan 7 menit, 8 menit, 9 menit, bahkan 10 menit, aku jenuh juga menatap rumus-rumus maut itu.
Aku memutuskan untuk ke toilet, bukan cuma karena bosan, tapi memang sudah kebelet mikturasi (red: mau pipis). “Riska, ke toilet yuk?”, gadis penakut sepertiku tentu perlu seorang teman untuk menemaniku kemana-mana, termasuk ke toilet.
Tiba-tiba, Riana datang dan berniat mengikuti kami. Aku tak tau apakah ini hanya kebetulan atau ada makna tertentu, ‘dia’ keluar dari kelas kami tepat sama kami keluar menuju WC. Waktu terasa berhenti, terpampang ekspresi shock di wajahku saat mukanya terlihat jelas di depanku.
“Kenapa abang gak masuk kelas abang?” tanya Riska. Dia menjawab singkat “bosan”. Kalau aku pikir-pikir. Mungkinkah dia bosan? Mungkinkah dia sedang diusir karena mendapat hukuman? Mungkinkah dia bermaksud lain? Mungkin aku yang terlalu berlebihan!
Kenapa bosan? Kenapa ke kelas kami? Setauku, dia tidak dibully dikelasnya, XI IPA 1. Kenapa tidak di kelasnya? Hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
Setelah selesai, melaksanakan fungsi organ tubuhku sebagai kodrat manusia, aku kembali duduk di samping Mega, belajar matematika di barisan 5. Sedangkan Riska dan Riana kembali ke barisan 1.
Bosan, aku cukup bosan. Sebenarnya aku bukan tipe siswa yang menyukai jam kosong, karena aku tak tau apa yang harus aku perbuat. Bagusnya, Mega mengajakku, Riska, Riana bermain Truth or Dare. Pulpen memutar ria. Slepp! Pulpen mengarah ke Riana. Ia memilih “Truth”.
Dengan gelora semangat yang menggebu-gebu “Hayo, lagi naksir siapa nih, Riana?”. Riana diam terpaku, menatap segan wajah kami seolah-olah memikirkan hal yang menyangkut nyawa seseorang. Sungguh susah, pertanyaan yang susah bagi Riana untuk menjawab pertanyaan sederhana ini.
Sungguh tak tega juga aku melihatnya, sehingga aku mengubah pertanyaannya “Ya udah kelasnya aja.” “XI IPA 1”. Saat aku tahu, tak tahan aku menahan tawa, sampai menusuk ke ulu hati.
Bagaimana bisa seorang Riana naksir salah satu murid dari XI IPA 1? Aku hanya tak menyangka saja, ternyata orang yang paling aku kepoin berasal dari kelas dengan image kekanak-kanakan. “Yang pasti bukan Bang Rahmad.” sahutnya. “Lho kok bukan Bang Rahmad?” bisik suara hati.
“Hmm, kalo bukan Bang Rahmad, siapa dong? Bukankah Bang Rahmad yang paling good looking di kelas itu?” pikirku heran. “jangan-jangan sama kayak a…” kataku dengan amplitude suara yang cukup besar.
Karena dianggap membuat keributan, aku ditegur sama Badu. Kesel juga, apalagi yang negur itu orang yang suka membuat keributan, yang ributnya jauh lebih ribut dari pada aku. Tepat setelah teriakanku tadi, tiba-tiba ‘dia’ muncul.
Takut, bimbang, bingung bercampur menjadi satu paket terasa mutar-mutar di sekeliling otak. Untung saja, kata-kata yang kuucapkan tidak sampai selesai. “a….” yang kumaksudkan “aku”, lalu aku sambungkan menjadi “aqila”.
Tak berapa lama kemudian, kami bosan kembali. Karena kebosanan itulah yang membuat kami bubar. Aku dan Mega masih duduk di tempat yang sama. Hanya Riska dan Riana yang posisinya berubah. Kami pun melakukan aktivitas masing-masing. Mega belajar, Riska main HP, Riana main Laptop, aku sendiri noleh-noleh yang lewat karena aku bingung harus berbuat apa.
Naluriku berkata untuk menoleh ke belakang. Untuk kesekian kalinya aku shock melihat dia ada di belakangku barisan 5. Aku bingung kenapa ia disini, padahal di barisan 1 dan 2 lebih banyak cowok.
Sama seperti pertanyaanku tadi. Tak tau kebetulan atau ada maksud lain posisi dia disini. Riska dan Riana di posisi barisan 1, dia di barisan 1 juga. Sekarang Riska dan Riana di posisi barisan 5, dia di barisan 5 juga.
Sebelumnya, aku telah membuat kesepakatan dengan Mega, kalau misalnya Mega sudah selesai belajar kami akan bermain Bingo. “Ya udah yuk main?” seru Mega. “Ayolah!” jawab Riska, padahal nggak diajak. “Ayolah main!” terdengar sahutan pria.
Tentu saja tak lain dan tak bukan itu memang dia. Tentu saja wajahku memerah. Tentu saja detak jantungku menjadi tidak stabil. Tentu saja kata-kata yang keluar dari mulutku tidak lancer, sehingga terputus-putus. Intinya aku salah tingkah.
Dia bertanya bagaimana cara bermain. Aku yang biasanya paling jago jika sedang menjelaskan, mendadak berubah menjadi sosok yang berbeda. Pikiranku nge-blank, aku bingung bagaimana aku harus berkata-kata jika dia tepat berada di depanku.
            Permainan berjalan seru, saking serunya dia bahkan sampai menyenggol tanganku supaya tercoret. Mungkin dia berpikir aku bakalan kesal. Tapi tidak sama sekali, sungguh! Aku bahkan tidak mau mencuci tanganku.

Selasa, 17 Februari 2014 dua hari setelah ulangtahunku yang ke-16.
Aku, Riska dan Riana tengah berjalan usai jajan di kantin. Tiba-tiba seorang gadis menyergap kami. Aku terkejut, ternyata ia hanya ingin minta tolong difotoin. Ketika aku sedang memotret, aku merasa ada yang menatap kami.
Aku menoleh ke kanan, ada ‘dia’ tengah menatap kami dengan tatapan yang aneh dan berbeda. Suatu tatapan yang mengandung makna, namun sialnya aku tak tau makna di balik tatapan itu. Aku bingung siapa yang ditatapnya. Aku Citra? Riska? Atau Riana?
Aku merasa bukan aku. Sudut tatapannya kurang tepat dan kurang focus ke arahku, sedikit berpaling. Mungkin efek kacamatanya, atau dia memang menoleh yang lain.

Sungguh! Tatapan yang benar-benar berbeda dari biasanya. Kami kembali ke kelas, aku yang ditemani rasa penasaran dan ketidaktenangan akan makna apa di balik tatapan itu.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...