Perantara
Cipt.
Dwi Ditha Putri
Masih tertanam
jelas di otakku, saat-saat Becca mengagumi Ben dari kejauhan. Bahkan,
penjelasan materi oleh guru saja, ia abaikan. Lebih fokus menatapi idolanya itu
dari kejauhan. Berpangku tangan, ia kepala mengarah ke jam 2, mata
berbinar-binar, hatinya terpanah bahagia. Itu 3 tahun yang lalu, saat Becca,
Ben, dan aku Sella di kelas yang sama, 7A.
Masih
di kelas yang sama, A. Namun, sudah naik dua tingkatan, menjadi 9A. Becca
memutuskan jalinan cinta yang mereka rajut.
Perbedaan faith menyebabkan
runtuhnya benteng cinta mereka. Becca tak mau dan tak sanggup lagi untuk mencintai
Ben terlalu dalam. Sayang, Ben yang sudah mencintai Becca terlalu dalam, bahkan
melebihi dalamnya Samudera Hindia.
Kini,
kami sudah menyandang status sebagai
murid Putih Abu-Abu. Benar sekali, Becca dan Ben benar-benar terpisah. Bukan
hanya waktu yang memisahkan mereka. Tempat pun tak kalah tega untuk memisahkan
cinta mereka. Aku dan Becca merantau ke kota, demi mengejar pendidikan yang
lebih tinggi, di SMA Negeri 29 Jakarta.
Sepertinya,
Becca ingin membuang jauh-jauh hal-hal apapun yang berbau Ben. Sungguh, ia benar-benar ingin melupakan Ben. Aku tak tahu
apa yang ada di pikirannya, sehingga sebegitu bencinya ia terhadap Ben. Poor
of Ben.
Becca menghapus semua foto yang
berhubungan dengan Ben. The Notebook,
buku favorite mereka pun, ia bakar. Aku tak menyangka saja Becca berbuat sejauh
ini. Ia mengoyak-ngoyak dan membakar buku harian Ben, yang diberikan Ben, 14
Februari 2 tahun yang lalu. Bahkan, Becca mengganti kartu ponsel agar Ben tak bisa menghubunginya lagi.
“Sella, apa kamu punya nomor Becca?” Ben tak mau
berdiam saja, ia mengirimiku text.
“Punya sih, tapi……” aku ragu untuk
memberikannya.
“Ayo, Sell. Masa’ kamu tega sama aku? Aku hanya
ingin melepas rindu.”
“Ya udah. Ini 085757578585.” ku pencet kedua
rongga hidungku, selepas mengetik text.
“Sella, kamu apa-apaan sih? Kamu kan yang ngasih
nomor aku ke Ben?”. Sungguh, aku tak pernah melihat Becca semarah ini. Untuk
pertama kalinya, aku dibentak Becca dengan nada tinggi.
Ku hanya bisa diam, menatapnya dengan air mataku
yang sudah tak mampu menampung air lagi, berlinang, kini jatuh. Isak tangisku
keluar, kini kumenunduk.
“Sella, kamu nangis? Maafin aku. Aku nggak
bermaksud. Aku cuman kesel.”
“Nggak papa, salah
aku juga yang ngasih nomor kamu ke dia.” masih dengan isak tangis.
Tentu. Sangat tentu. Otomatis. Bahkan sangat
otomatis. Becca mengganti lagi nomor teleponnya. Ia benar-benar tak mau lagi
diganggu oleh Ben.
“Bukan bermaksud menyinggung, Sell. Aku sudah
ganti nomor, tolong kamu jangan kasih lagi ya ke Ben. Aku mohon banget kali
ini.”
“Baiklah, Becca. Aku janji. “ kuacungkan jari
kelingking.
“Sella, kok nomor Becca nggak aktif lagi?” lagi.
Lagi-lagi, Ben mengirimiku sms.
“Becca sudah ganti nomor, Ben. Maaf, kali ini
aku nggak bisa ngasih nomornya lagi ke kamu.”
“Maaf. Ya sudah, aku nggak mau ngerepotin kamu
lagi. Jadi, kabar Becca gimana? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia sehat kok. Kamu tenang saja.” Ku tak mampu
lagi menahan genangan air mata.
Hatiku bergetar.
Bukan getar bahagia. Getaran perih. Kurasakan nyesek, membalut relung hati. Ben dan Becca. Iya, mereka. Mereka
tak pernah tahu, aku memendam rasa ini. Aku sudah lama jatuh cinta pada Ben,
jauh sebelum Becca mengenal Ben. Selama 9 tahun, aku selalu di kelas yang sama
dengan Ben. Dari SD, kami menjalin persahabatan ini. Sungguh, aku tak pernah
bosan berteman dengannya.
Sosok perempuan
yang lebih memilih untuk memendam dari pada mengeluarkannya sepertiku, tentu
tak akan pernah maju untuk mendapatkan cinta
yang ingin kugapai. Setiap hari, aku harus menerima sms dari Ben, yang
menanyakan kabar Becca. Dia menghubungi, meneleponku, hanya untuk berbicara
tentang apapun yang berbau Becca.
Aku tahu, Becca
memang sahabatku. Tapi, mau gimana. Tetap ada rasa sesak, di sini, saat Ben tanpa lelah menghubungiku hanya untuk bertanya mengenai Becca, sedangkan kabarku sendiri tak
ia tanya. Batinku berteriak.
“Apa kau tak mau tau kabarku? Mengapa kau
memilih Becca, tak mau memilihku? Haruskah kau membelakangiku tanpa mau
sedikitpun memutar pandangan? Haruskah aku berteriak agar kau menoleh?”
Aku masih ingat dua
tahun yang lalu, tepatnya 1 hari sebelum Hari Valentine. Kala itu, di sore yang
indah. Ben datang ke rumahku, mengetuk pintu. Ia sodorkan aku mawar putih
mewangi sambil berlutut. “Will you be mine?”. Pertanyaan yang singkat, tapi
sangat bermakna. Ku terpaku diam, menunggu rasa bingungku hilang.
“Gimana, Sell?
Keren nggak kalo aku nembak Becca seperti ini?”
Jlebbb…..
Sumpah. Ini rasanya
sakit, bukan main. Aku tak tahu, bagaimana harus menggambarkan rasa sakitku
ini.
“B.. Beb… Bagus
kok, Ben. Becca pasti terima.” jawabku sok
tegar.
“Benarkah?
Baguslah kalau begitu. Besok aku akan menembaknya, dan special aku
memberikannya buku harianku.” Ben sungguh bersemangat, tak sabar ia menunggu
keesokan harinya.
“Sejauh
itukah?” batinku bergejolak, tak mampu untuk kusampaikan apa yang sesungguhnya
di pikiranku.
Ya, beginilah nasibku. Hanya sebatas Perantara.
No comments:
Post a Comment