Leonardo
Cipt. Dwi Ditha Putri
Yeay! Setelah puas
menjalani masa hibernasi selama 2 minggu.Lumayanlah.Cukup, mengisi penuh energiuntuk
disimpan di dalam tubuh kurusku.
Senin, 15 Juli 2014
Hari yang
kunanti-nanti, akhirnya tiba juga.Kini, aku berhasilmenyandang statusKakak Kelas. Wajah-wajah SMA Bunga
Bangsa pun semakin bervariasi, dari yang imut, muka tua, cantik, ganteng,
manis, macho, lembut, bantet, hingga yang langsing. Berpencar di setiap sudut
sekolah mengisi ruang di kelas-kelas baru.
Senin pagi pertama
untuk tahun ajaran baru, sekaligus upacara bendera pertama yang berlangsung di
lapangan.Pagi yang sangat mendukung.Begitu baiknya angin pagi ini, mereka tak
malu untuk menari-nari seraya mengibaskan rambut kami. Menciptakan suasana
segar. Matahari pun tak kalah baik, cahayanya memancarkan kehangatan tanpa tega
untuk menusuk kulit kami yang polos ini.Tak tahu mengapa pohon-pohon begitu
centil, berjoget seolah-olah sedang menggoda kami.
“Semua diharapkan
untuk turun ke lapangan sekarang juga, karena akan diadakan upacara bendera.”
“Teman-teman!Turun
ke lapangan!” teriak ketua kelas dengan semangat kepemimpinan, Bimo.
Aku pun tak kalah
semangatnya dengan Bimo.Segera, kutarik topi milikku.Berjalan menyusuri jalan kecil
menuju lapangan. Saking semangatnya, aku sampai aku lupa akan teman-temanku.
Aku berjalan sendiri.
Aneh, rasanya
topiku tidak pas di kepala.Mungkin
karena rambutku menebal.Atau mungkin kepalaku membesar akibatkelebihanmasa
tidur.Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk melebarkan topi.Sampai-sampai
aku lupa, untuk tetap fokus melihat jalan.
Brakkkkkkkkk…
“Sorry.” refleks
aku meminta maaf.Bodoh.Tak seharusnya aku menabrak orang disaat keramaian berlalu
lalang seperti ini.
“Maaf kak.”
Kak?Jadi ini adik
kelas?Aku saja kesulitan memandangnya, hingga perlu sedikit mendongak ke atas.
Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Lagi-lagi bodoh, mengapa aku terus-menerus
menatap mata lelaki muda ini?Bisa-bisanya aku lupa, topiku masih di tanah.
“Nih kak
topinya.”
Dia menyodorkan
topiku sambil sedikit mengibaskan debu topiku.Sementara mataku masih terbelalak
bingung memandangnya.Tak menyangka saja,di dunia ini masih ada orang yang baik seperti
dia.
“Makasih, dek.”
Segera, aku bergegas
menuju barisan kelasku, XI MIA 2.Langsung tanpa basa basi aku menceritakannya
ke temanku, Dilla.Tentu. Dia penasaran akan sosok lelaki itu. Ku tunjuk arah
adik kelas itu di barisan X MIA 2.
“Itu loh.Yang
paling mencolok.Kacamata oren.”
“Oooh… Yang
kacamata oren itu?” ucap Dilla agak keras.
“Usshhh..Diam-diam
dong, Dill.Jangan keras-keras.”
“Ya sudah.Buat
saja nama samaran untuknya.”
“Leonardo.”
“Lah? Kok Leonardo?”
“Tampangnya seperti
pelukis.”
“Ah, emang pernah
lihat tampang pelukis?”
“Tuh Leonardo.” ucapku dengan nada bercanda,
dengan mengacungkan 2 jari membentuk huruf V.
Selasa, 16 Juli 2014.
Dilla menepuk
punggungku.“Eits, ngapain ngelamun?”
Aku terbangun
dari lamunanku, baru menyadari bahwa ternyata dari tadi aku sedang melamun.
“Mikiran apa
sih?”
“Kau masih
ingatkan yang kemarin?Leonardo!”
jawabku.
“Oh. Yang
kacamata oren itu?”
“Tau nggak
sih?Tadi malam, aku mimpiin dia. Nggak tau nih angin apa yang lewat
sampai-sampai aku bisa mimpi sepertiitu!”
“Loh?Emang gimana
mimpinya?”
“Agak
samar-samar. Dalam mimpi, ntah mengapa aku merasa akrab banget sama dia.
Padahal ketemunya aja baru kemarin. Pokoknya kami lebih sering berdua dalam
mimpi.”
“Wah, parah.Tuh
anak siapa sih namanya?”
“Nggak tau.Aku
juga penasaran.”
Cling…..
“Eh, aku pengen
pipis nih. Ke toilet yuk?” tiba-tiba Dilla mengalihkan pembicaraan.
“Pipis mulu.” kuberkeluh.
Jarak toilet dari
kelas kami cukup jauh.Perlu melewati beberapa kelas.Termasuk kelas X MIA 2.Di
setiap depan kelas SMA Bunga Bangsa tersedia bangku-bangku, sebagai tempat
peristirahatan murid-murid sambil melihat-lihat pemandangan lapangan sekolah.
“Itu Leonardo kan?” tanya Dilla.
Dilla
melanjutkan, “Cepat lihat namanya di sebelah kiri!”.
“Pelan-pelan
jalannya, mata aku lagi nggak fokus.”
“Aish, ya udah.
Aku saja yang lihat.” tak tahu mengapa Dilla begitu excited.
“Hati-hati jangan
sampai ketahuan.” kataku mengingatkan.
Ketika jarak
antara aku dan Leonardo semakin
dekat.Darah-darahku berkumpul nakal di wajah pucatku.Rasanya panas.Kurasa
jantungku sedang berkonser ria. Kuberusaha menutup raut muka ini, dengan
bersikap stay cool.
“Pagi, kak!”
sapanya dengan senyuman ramah menyerupai senyuman artis idolaku, Chunji Teen Top.
Masih berusaha stay cool, aku memberikan sedikit
anggukan kepala menandakan aku mengapresiasi sapaannya.
“Gimana, Dill.
Dapet nggak namanya?” tanyaku ditemani rasa penasaran yang berguncang.
“Ste… Steff…
Steffano kalo nggak salah,namaakhirnya. Susah. Masih ada 2 nama lagi. Dianya
goyang-goyang, ribut sama teman-temannya, jadi susah ngeliatnya.” ucapnya
seperti belum puas, belum menemukan nama lengkap Leonardo.
“Gak apa-apa…
Kita masih punya waktu 2 tahun untuk mencari tahu namanya.”
Rabu, 16 Juli 2014.
Walaupun
kacamatanya terkesan norak dan culun.Ntah kenapa, kurasa Leonardo punya daya
pikat tersendiri. Tubuh tinggi, kulit putih, mata sipit ala artis korea, serta suara
yang menggoda batinku sebagai wanita utuh.
Jelas.Sampai-sampai
di kelas, tak hentinya aku tersenyum, tersipu malu, dan tanpa lelah
menggerakkan siku.Aku begitu senang dan merasa seru bukan kepalang.
Hoorrayy..
“Dill, ke toilet
yuk?” ajakku dengan keceriaan pagi.
“Semangat banget.Pasti
mau ketemu Steffano.Iya kan?”
“Uuushh. Jangan
sebut merk! Sebut saja Leonardo, okay?” kataku dengan sedikit
melototkan mata.
“Ampun, tuan
putri.Hehe.” maaf Dilla, membentuk lengkungan ke atas, bibirnya.
“Jangan lupa lihat
lagi namanya ya?”
“Bayar ya?”Dilla
menjulurkan lidahnya.:P
“Sshhh -_-“
“Pagi kak?”
Lagi. Wah, aku
pikir dia akan bosan menyapaku. Ternyata tidak juga.Kali ini aku balas dengan
anggukan kepala dan sedikit senyuman.
“Pagi kak?”
“Pagi kak?”
“Pagi kak?”
Dia memang sosok
yang ramah.Tidak seharusnya aku melayang sejauh ini.Tapi tak apalah.Aku tetap
senang menjadi salah satu orang yang disapanya.
“Gimana, Dill.
Dapet nggak namanya?” tentu saja aku begitu bersemangat untuk segera mengetahui
namanya.
“Heuh -_- Tuh
anak goyang-goyang mulu.Terlalu ramah. Nggak capek apa ngangguk-ngangguk sambil
nyapa semua kakak kelas yang lewat? Kan jadi susah aku buat ngeliat namanya.”
keluh Dilla yang merasa tak kuasa.
“Lho?Jadi nggak
dapet nih namanya?” dahiku mengkerut, bibirku membentuk lengkungan ke bawah.Kecewa.
“Dapet sih
namanya. Tapi cuman nama tengah. Kalo nggak salah. Ha… Ris… Ya. Haris! Jadi
namanya blablabla Haris Steffano.” jawabnya agak ragu.
“Wah, namanya
lucu juga.”
Kamis, 17 Juli 2014
“Yuk, Dill.”
“Aku sudah tau apa
isi otakmu.” jawab Dilla yakin, tersenyum ganas bermakna.
Dari kejauhan,
tampak sosok lelaki muda dihiasi kacamata oren, memancarkan sinar yang hangat,
begitu memikat. Ntahlah apahanya aku saja yang terpikat, atau semua orang
mengakui bahwa ia memang memesona.
Lagi-lagi, aku
melihatnya bersama teman-teman sedang berngobrol ria. Ya. Aku tak tahu apa yang
sedang mereka bicarakan. Sepertinya asik.Sungguh.Aku tergoda.Rasanya ingin
sekali bergabung dengan mereka.Namun, tahulah.gadis yang tidak suka Sok Kenal Sok Dekat sepertiku, tak
mungkin melakukan hal itu.
“Pagi kak?” kali
ini aku dan Dilla disapa oleh gerombolan orang-orang itu.
“Pagi dek?” aku
mencoba mengapresiasi sapaannya lebih jauh, balas sapa, senyum dan mengangguk.
Jefri Haris Steffano.
“Huaaaaahhhh…”
hysteria ku tak mampu untuk kukeluarkan, kutahan dengan teriak dalam hati.
“Namanya keren
banget, Dill.” bahagiaku, aku melompat-lompat ria di toilet wanita. Untung
saja, hanya ada aku dan Dilla.Jadi aku tak perlu menahan malu.
Hari demi hari
berjalan terasa cepat berlalu.Setiap istirahat pertama, pasti aku dan Dilla menyusuri serambi kelas X MIA 2 untuk ke
toilet.Tiada hari tanpa sapaannya.Aku tak tahu apakah dia bosan melihatku,
apakah dia mengenalku atau tidak.
Setiap hari
senin, pasti aku begitu antusias untuk menjalani upacara bendera. Aku bahkan
tak malu untuk berbaris di depan, agar bisa melihatnya dengan jelas. Di sela-sela
waktu, aku memandangnya.
Baru tiga detik menatap.Pasti
dia menoleh kembali.Aku tak tau.Mungkin dia indigo.Terkadang
dia sering melempar senyuman tersipu malu.Mungkinkah dia tersenyum untukku?Atau
mungkin dia menahan tawa karena aku bertingkah aneh?Who knows?
Setiap dia
menoleh kembali.Ragaku rasanya ingin berteriak histeris.Namun kutahan.Sesekali
aku menoleh kebelakang untuk berekspresi sesukaku, agar dia tak tahu.Aku sering
melihatnya mengobrol dengan teman-teman perempuannya, kemudian memberikan
tatapan bermakna ke arah kelasku.Dan terkadang, mereka tertawa kecil.
Kamis, 18 September 2014
Tett… Tett… Tett…
Bell istirahat
kedua berdentang keras.Cukup, untuk menciptakan polusi suara.Saatnya mengisi
perut yang sudah tak kuasa lagi menahan lapar. Ayam Goreng Nona, enak. Mungkin,
efek lapar.Apapun makanannya, kalau lapar pasti terasa enak.Aku bersama
teman-teman sekelasku berbekal massal.
“Yeay, kenyang
juga akhirnya. Cuci tangan dulu ah.” seruku, langsung keluar, mencuci tangan di
wastafel yang tersedia di depan kelas.
Pokkk…
Reflek aku
menoleh, siapa orang yang menepuk punggungku.
“Permisi,
kak.Kelas XI MIA2 siapa yang nggak masuk?”Leonardo
datang sambil membawa buku absen.
Satu detik… Dua detik… Tiga detik…
Lagi-lagi,
matanya membuatku berpikiran kosong.
“A…Ap… Apa, dek?”
tanyaku salah tingkah.
“Kelas XI MIA2
siapa yang nggak masuk, kak?”Leonardo
bertanya sekali lagi.
Kutatap matanya
yang haus akan jawabanku, kemudian aku menggeleng.
“Oh, terimakasih
kak.”
Aku mengangguk,
diam seribu bahasa.Sungguh, aku tak berdaya untuk berkata-kata.
Segera, setelah
dia pergi, aku masuk ke kelas.Berekspresi sepuasnya, sampai rasa dalam benakku
keluar.Langsung kutanya Bimo, “Hari ini masuk semua, kan?”
“Deni?”
Plakkk…
Kutepuk
dahiku.“Bodoh.”Bisa-bisanya, aku lupa kalau Deni absen hari ini.Langsung, aku
keluar kelas mencari Leonardo.
Ternyata dia masih di serambi, depan kelas XI MIA 5. Tanpa rasa malu, kali ini.Kuberlari.Kutepuk
punggung anak itu.
Ngos-ngosan?Jelas.Sangat
malah.Aku membungkuk, memegang lututku.Menarik napas.Menghembuskan
napas.Napasku berdesir panjang.Rasanya tak kuasa untuk berkata-kata.Lelah berlari
dan salah tingkah berpadu menjadi satu kesatuan.
“Ada apa, kak?” politely tanyaLeonardo.
“A… Ah… Anuu…”
napasku masih tak karuan.
“Iya?” alisnya
naik, sedikit heran.
“Kelas XI MIA 2,
Deni nggak masuk.” akhirnya berhasil juga untuk mengatakannya.Rasanya sulit
sekali, hanya untuk berkata-kata.
“Deni?”
“Deni Susanto.
Absen 9” kuperjelas lagi.
“Oh, terimakasih,
Kak.”Senyuman manisnya terukir jelas di wajahnya. Kugigit bibir bawahku, tak
kuasa menahan diri akan hysteria ini.
“Mari, dek.”
Langsung ku berlari
ke kelas.Kuceritakan semuanya ke Dilla.Dilla pun tertawa, dan turut histeris
bersamaku.
Jumat, 19 September 2014
Seperti biasa,
istirahat pertama pasti ke toilet melewati kelasnya Leonardo. Aku sangat bersemangat
Aneh.
“Lho, kok dia
nggak nyapa kita sih?” bisik Dilla heran, mengerutkan dahi dan mempertegas
alisnya.
“Iya nih.Kok
nggak nyapa sih? -_-“ keluhku, bĂȘte.
Sejak itu, Leonardo tak pernah menyapaku lagi.Dia
diam saja, ketika aku lewat.Aku tak tahu mengapa.Sungguh, aku bingung.
Senin, 22 September 2014
Leonardo yang biasanya berbaris paling depan
saat upacara. Kini iaberbaris paling belakang. Aku tak dapat melihat wajah dan
kacamata orennya lagi, dari posisiku.
Bahkan yang lebih
parah lagi, ketika aku melewati kelasnya.Padahal jarak aku dan Leonardo baru 5 meter. Ialangsung masuk
kelas tanpa berpikir panjang. Seperti ia tak senang melihatku, merasa risih
akan kedatanganku. Ntahlah.Aku juga tak tahu.
Waktu demi waktu… Hari demi hari… Bulan demi
bulan… Kujalani...
Selalu ketika
bertemu,ia tak pernah mau menyapaku lagi. Selalu berbaris di posisi paling
belakang saat upacara.Dan, selalu mengurung diri di dalam kelas saat aku lewat.
Kini, he’s changed. Rasanya, terlalu
tiba-tiba.
“Mungkin benar,
tak seharusnya aku menyukai lelaki yang lebih muda, adik kelas.”
penggunaan titik dan koma nya kurang tepat jadi agak bingung ngebaca nya. still good anyway, but i think that a story must have a lesson, message, or moral value in it right? and i think i didn't find it in yours, but its okay, thumbs up for you for trying! :)
ReplyDeleteHaha... Ya gitu deh, nggak ada moral value.. Nggak ada konflik malah.. Lebih kayak curcol.. Oke, terimakasih sarannya..
ReplyDelete