Dwi Ditha Putri

Dwi Ditha Putri

Monday, January 5, 2015

Perantara (Cerpen)

Perantara
Cipt. Dwi Ditha Putri

Masih tertanam jelas di otakku, saat-saat Becca mengagumi Ben dari kejauhan. Bahkan, penjelasan materi oleh guru saja, ia abaikan. Lebih fokus menatapi idolanya itu dari kejauhan. Berpangku tangan, ia kepala mengarah ke jam 2, mata berbinar-binar, hatinya terpanah bahagia. Itu 3 tahun yang lalu, saat Becca, Ben, dan aku Sella di kelas yang sama, 7A.


          Masih di kelas yang sama, A. Namun, sudah naik dua tingkatan, menjadi 9A. Becca memutuskan jalinan cinta yang mereka rajut.  Perbedaan faith menyebabkan runtuhnya benteng cinta mereka. Becca  tak mau dan tak sanggup lagi untuk mencintai Ben terlalu dalam. Sayang, Ben yang sudah mencintai Becca terlalu dalam, bahkan melebihi dalamnya Samudera Hindia.
          Kini, kami sudah menyandang  status sebagai murid Putih Abu-Abu. Benar sekali, Becca dan Ben benar-benar terpisah. Bukan hanya waktu yang memisahkan mereka. Tempat pun tak kalah tega untuk memisahkan cinta mereka. Aku dan Becca merantau ke kota, demi mengejar pendidikan yang lebih tinggi, di SMA Negeri 29 Jakarta.
          Sepertinya, Becca ingin membuang jauh-jauh hal-hal apapun yang berbau Ben. Sungguh, ia  benar-benar ingin melupakan Ben. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya, sehingga sebegitu bencinya ia terhadap Ben. Poor of Ben.
          Becca menghapus semua foto yang berhubungan dengan Ben. The Notebook, buku favorite mereka pun, ia bakar. Aku tak menyangka saja Becca berbuat sejauh ini. Ia mengoyak-ngoyak dan membakar buku harian Ben, yang diberikan Ben, 14 Februari 2 tahun yang lalu. Bahkan, Becca mengganti kartu ponsel agar Ben tak bisa menghubunginya lagi.


“Sella, apa kamu punya nomor Becca?” Ben tak mau berdiam saja, ia mengirimiku text.
“Punya sih, tapi……” aku ragu untuk memberikannya.
“Ayo, Sell. Masa’ kamu tega sama aku? Aku hanya ingin melepas rindu.”
“Ya udah. Ini 085757578585.” ku pencet kedua rongga hidungku, selepas mengetik text.


“Sella, kamu apa-apaan sih? Kamu kan yang ngasih nomor aku ke Ben?”. Sungguh, aku tak pernah melihat Becca semarah ini. Untuk pertama kalinya, aku dibentak Becca dengan nada tinggi.
Ku hanya bisa diam, menatapnya dengan air mataku yang sudah tak mampu menampung air lagi, berlinang, kini jatuh. Isak tangisku keluar, kini kumenunduk.
“Sella, kamu nangis? Maafin aku. Aku nggak bermaksud. Aku cuman kesel.”
“Nggak papa, salah aku juga yang ngasih nomor kamu ke dia.” masih dengan isak tangis.


Tentu. Sangat tentu. Otomatis. Bahkan sangat otomatis. Becca mengganti lagi nomor teleponnya. Ia benar-benar tak mau lagi diganggu oleh Ben.
“Bukan bermaksud menyinggung, Sell. Aku sudah ganti nomor, tolong kamu jangan kasih lagi ya ke Ben. Aku mohon banget kali ini.”
“Baiklah, Becca. Aku janji. “ kuacungkan jari kelingking.


“Sella, kok nomor Becca nggak aktif lagi?” lagi. Lagi-lagi, Ben mengirimiku sms.
“Becca sudah ganti nomor, Ben. Maaf, kali ini aku nggak bisa ngasih nomornya lagi ke kamu.”
“Maaf. Ya sudah, aku nggak mau ngerepotin kamu lagi. Jadi, kabar Becca gimana? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia sehat kok. Kamu tenang saja.” Ku tak mampu lagi menahan genangan air mata.


Hatiku bergetar. Bukan getar bahagia. Getaran perih. Kurasakan nyesek, membalut relung hati. Ben dan Becca. Iya, mereka. Mereka tak pernah tahu, aku memendam rasa ini. Aku sudah lama jatuh cinta pada Ben, jauh sebelum Becca mengenal Ben. Selama 9 tahun, aku selalu di kelas yang sama dengan Ben. Dari SD, kami menjalin persahabatan ini. Sungguh, aku tak pernah bosan berteman dengannya.
Sosok perempuan yang lebih memilih untuk memendam dari pada mengeluarkannya sepertiku, tentu tak akan pernah maju untuk mendapatkan cinta yang ingin kugapai. Setiap hari, aku harus menerima sms dari Ben, yang menanyakan kabar Becca. Dia menghubungi, meneleponku, hanya untuk berbicara tentang apapun yang berbau Becca.
Aku tahu, Becca memang sahabatku. Tapi, mau gimana. Tetap ada rasa sesak, di sini, saat Ben tanpa lelah menghubungiku hanya untuk bertanya mengenai Becca, sedangkan kabarku sendiri tak ia tanya. Batinku berteriak.
“Apa kau tak mau tau kabarku? Mengapa kau memilih Becca, tak mau memilihku? Haruskah kau membelakangiku tanpa mau sedikitpun memutar pandangan? Haruskah aku berteriak agar kau menoleh?”
          Aku masih ingat dua tahun yang lalu, tepatnya 1 hari sebelum Hari Valentine. Kala itu, di sore yang indah. Ben datang ke rumahku, mengetuk pintu. Ia sodorkan aku mawar putih mewangi sambil berlutut. “Will you be mine?”. Pertanyaan yang singkat, tapi sangat bermakna. Ku terpaku diam, menunggu rasa bingungku hilang.
          “Gimana, Sell? Keren nggak kalo aku nembak Becca seperti ini?”
Jlebbb…..
          Sumpah. Ini rasanya sakit, bukan main. Aku tak tahu, bagaimana harus menggambarkan rasa sakitku ini.
          “B.. Beb… Bagus kok, Ben. Becca pasti terima.” jawabku sok tegar.
          “Benarkah? Baguslah kalau begitu. Besok aku akan menembaknya, dan special aku memberikannya buku harianku.” Ben sungguh bersemangat, tak sabar ia menunggu keesokan harinya.
          “Sejauh itukah?” batinku bergejolak, tak mampu untuk kusampaikan apa yang sesungguhnya di pikiranku.

Ya, beginilah nasibku. Hanya sebatas Perantara.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...