Monday, December 22, 2014

Leonardo (Cerpen)

Leonardo
Cipt. Dwi Ditha Putri

Yeay! Setelah puas menjalani masa hibernasi selama 2 minggu.Lumayanlah.Cukup, mengisi penuh energiuntuk disimpan di dalam tubuh kurusku.
Senin, 15 Juli 2014
Hari yang kunanti-nanti, akhirnya tiba juga.Kini, aku berhasilmenyandang statusKakak Kelas. Wajah-wajah SMA Bunga Bangsa pun semakin bervariasi, dari yang imut, muka tua, cantik, ganteng, manis, macho, lembut, bantet, hingga yang langsing. Berpencar di setiap sudut sekolah mengisi ruang di kelas-kelas baru.


Senin pagi pertama untuk tahun ajaran baru, sekaligus upacara bendera pertama yang berlangsung di lapangan.Pagi yang sangat mendukung.Begitu baiknya angin pagi ini, mereka tak malu untuk menari-nari seraya mengibaskan rambut kami. Menciptakan suasana segar. Matahari pun tak kalah baik, cahayanya memancarkan kehangatan tanpa tega untuk menusuk kulit kami yang polos ini.Tak tahu mengapa pohon-pohon begitu centil, berjoget seolah-olah sedang menggoda kami.
“Semua diharapkan untuk turun ke lapangan sekarang juga, karena akan diadakan upacara bendera.”
“Teman-teman!Turun ke lapangan!” teriak ketua kelas dengan semangat kepemimpinan, Bimo.
Aku pun tak kalah semangatnya dengan Bimo.Segera, kutarik topi milikku.Berjalan menyusuri jalan kecil menuju lapangan. Saking semangatnya, aku sampai aku lupa akan teman-temanku. Aku berjalan sendiri.
Aneh, rasanya topiku tidak pas di kepala.Mungkin karena rambutku menebal.Atau mungkin kepalaku membesar akibatkelebihanmasa tidur.Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk melebarkan topi.Sampai-sampai aku lupa, untuk tetap fokus melihat jalan.
Brakkkkkkkkk…
“Sorry.” refleks aku meminta maaf.Bodoh.Tak seharusnya aku menabrak orang disaat keramaian berlalu lalang seperti ini.
“Maaf kak.”
Kak?Jadi ini adik kelas?Aku saja kesulitan memandangnya, hingga perlu sedikit mendongak ke atas. Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Lagi-lagi bodoh, mengapa aku terus-menerus menatap mata lelaki muda ini?Bisa-bisanya aku lupa, topiku masih di tanah.
“Nih kak topinya.”
Dia menyodorkan topiku sambil sedikit mengibaskan debu topiku.Sementara mataku masih terbelalak bingung memandangnya.Tak menyangka saja,di dunia ini masih ada orang yang baik seperti dia.
“Makasih, dek.”
Segera, aku bergegas menuju barisan kelasku, XI MIA 2.Langsung tanpa basa basi aku menceritakannya ke temanku, Dilla.Tentu. Dia penasaran akan sosok lelaki itu. Ku tunjuk arah adik kelas itu di barisan X MIA 2.
“Itu loh.Yang paling mencolok.Kacamata oren.”
“Oooh… Yang kacamata oren itu?” ucap Dilla agak keras.
“Usshhh..Diam-diam dong, Dill.Jangan keras-keras.”
“Ya sudah.Buat saja nama samaran untuknya.”
“Leonardo.”
“Lah? Kok Leonardo?”
“Tampangnya seperti pelukis.”
“Ah, emang pernah lihat tampang pelukis?”
“Tuh Leonardo.” ucapku dengan nada bercanda, dengan mengacungkan 2 jari membentuk huruf V.

Selasa, 16 Juli 2014.
Dilla menepuk punggungku.“Eits, ngapain ngelamun?”
Aku terbangun dari lamunanku, baru menyadari bahwa ternyata dari tadi aku sedang melamun.
“Mikiran apa sih?”
“Kau masih ingatkan yang kemarin?Leonardo!” jawabku.
“Oh. Yang kacamata oren itu?”
“Tau nggak sih?Tadi malam, aku mimpiin dia. Nggak tau nih angin apa yang lewat sampai-sampai aku bisa mimpi sepertiitu!”
“Loh?Emang gimana mimpinya?”
“Agak samar-samar. Dalam mimpi, ntah mengapa aku merasa akrab banget sama dia. Padahal ketemunya aja baru kemarin. Pokoknya kami lebih sering berdua dalam mimpi.”
“Wah, parah.Tuh anak siapa sih namanya?”
“Nggak tau.Aku juga penasaran.”
Cling…..
“Eh, aku pengen pipis nih. Ke toilet yuk?” tiba-tiba Dilla mengalihkan pembicaraan.
“Pipis mulu.” kuberkeluh.
Jarak toilet dari kelas kami cukup jauh.Perlu melewati beberapa kelas.Termasuk kelas X MIA 2.Di setiap depan kelas SMA Bunga Bangsa tersedia bangku-bangku, sebagai tempat peristirahatan murid-murid sambil melihat-lihat pemandangan lapangan sekolah.
“Itu Leonardo kan?” tanya Dilla.
Dilla melanjutkan, “Cepat lihat namanya di sebelah kiri!”.
“Pelan-pelan jalannya, mata aku lagi nggak fokus.”
“Aish, ya udah. Aku saja yang lihat.” tak tahu mengapa Dilla begitu excited.
“Hati-hati jangan sampai ketahuan.” kataku mengingatkan.

Ketika jarak antara aku dan Leonardo semakin dekat.Darah-darahku berkumpul nakal di wajah pucatku.Rasanya panas.Kurasa jantungku sedang berkonser ria. Kuberusaha menutup raut muka ini, dengan bersikap stay cool.
“Pagi, kak!” sapanya dengan senyuman ramah menyerupai senyuman artis idolaku, Chunji Teen Top.
Masih berusaha stay cool, aku memberikan sedikit anggukan kepala menandakan aku mengapresiasi sapaannya.
“Gimana, Dill. Dapet nggak namanya?” tanyaku ditemani rasa penasaran yang berguncang.
“Ste… Steff… Steffano kalo nggak salah,namaakhirnya. Susah. Masih ada 2 nama lagi. Dianya goyang-goyang, ribut sama teman-temannya, jadi susah ngeliatnya.” ucapnya seperti belum puas, belum menemukan nama lengkap Leonardo.
“Gak apa-apa… Kita masih punya waktu 2 tahun untuk mencari tahu namanya.”
Rabu, 16 Juli 2014.
Walaupun kacamatanya terkesan norak dan culun.Ntah kenapa, kurasa Leonardo punya daya pikat tersendiri. Tubuh tinggi, kulit putih, mata sipit ala artis korea, serta suara yang menggoda batinku sebagai wanita utuh.
Jelas.Sampai-sampai di kelas, tak hentinya aku tersenyum, tersipu malu, dan tanpa lelah menggerakkan siku.Aku begitu senang dan merasa seru bukan kepalang.
Hoorrayy..
“Dill, ke toilet yuk?” ajakku dengan keceriaan pagi.
“Semangat banget.Pasti mau ketemu Steffano.Iya kan?”
“Uuushh. Jangan sebut merk! Sebut saja Leonardo, okay?” kataku dengan sedikit melototkan mata.
“Ampun, tuan putri.Hehe.” maaf Dilla, membentuk lengkungan ke atas, bibirnya.
“Jangan lupa lihat lagi namanya ya?”
“Bayar ya?”Dilla menjulurkan lidahnya.:P
“Sshhh -_-“

“Pagi kak?”
Lagi. Wah, aku pikir dia akan bosan menyapaku. Ternyata tidak juga.Kali ini aku balas dengan anggukan kepala dan sedikit senyuman.
“Pagi kak?”
“Pagi kak?”
“Pagi kak?”
Dia memang sosok yang ramah.Tidak seharusnya aku melayang sejauh ini.Tapi tak apalah.Aku tetap senang menjadi salah satu orang yang disapanya.
“Gimana, Dill. Dapet nggak namanya?” tentu saja aku begitu bersemangat untuk segera mengetahui namanya.
“Heuh -_- Tuh anak goyang-goyang mulu.Terlalu ramah. Nggak capek apa ngangguk-ngangguk sambil nyapa semua kakak kelas yang lewat? Kan jadi susah aku buat ngeliat namanya.” keluh Dilla yang merasa tak kuasa.
“Lho?Jadi nggak dapet nih namanya?” dahiku mengkerut, bibirku membentuk lengkungan ke bawah.Kecewa.
“Dapet sih namanya. Tapi cuman nama tengah. Kalo nggak salah. Ha… Ris… Ya. Haris! Jadi namanya blablabla Haris Steffano.” jawabnya agak ragu.
“Wah, namanya lucu juga.”
Kamis, 17 Juli 2014
“Yuk, Dill.”
“Aku sudah tau apa isi otakmu.” jawab Dilla yakin, tersenyum ganas bermakna.
Dari kejauhan, tampak sosok lelaki muda dihiasi kacamata oren, memancarkan sinar yang hangat, begitu memikat. Ntahlah apahanya aku saja yang terpikat, atau semua orang mengakui bahwa ia memang memesona.
Lagi-lagi, aku melihatnya bersama teman-teman sedang berngobrol ria. Ya. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya asik.Sungguh.Aku tergoda.Rasanya ingin sekali bergabung dengan mereka.Namun, tahulah.gadis yang tidak suka Sok Kenal Sok Dekat sepertiku, tak mungkin melakukan hal itu.
“Pagi kak?” kali ini aku dan Dilla disapa oleh gerombolan orang-orang itu.
“Pagi dek?” aku mencoba mengapresiasi sapaannya lebih jauh, balas sapa, senyum dan mengangguk.

Jefri Haris Steffano.
“Huaaaaahhhh…” hysteria ku tak mampu untuk kukeluarkan, kutahan dengan teriak dalam hati.
“Namanya keren banget, Dill.” bahagiaku, aku melompat-lompat ria di toilet wanita. Untung saja, hanya ada aku dan Dilla.Jadi aku tak perlu menahan malu.

Hari demi hari berjalan terasa cepat berlalu.Setiap istirahat pertama, pasti aku dan Dilla menyusuri serambi kelas X MIA 2 untuk ke toilet.Tiada hari tanpa sapaannya.Aku tak tahu apakah dia bosan melihatku, apakah dia mengenalku atau tidak.
Setiap hari senin, pasti aku begitu antusias untuk menjalani upacara bendera. Aku bahkan tak malu untuk berbaris di depan, agar bisa melihatnya dengan jelas. Di sela-sela waktu, aku memandangnya.
Baru tiga detik menatap.Pasti dia menoleh kembali.Aku tak tau.Mungkin dia indigo.Terkadang dia sering melempar senyuman tersipu malu.Mungkinkah dia tersenyum untukku?Atau mungkin dia menahan tawa karena aku bertingkah aneh?Who knows?
Setiap dia menoleh kembali.Ragaku rasanya ingin berteriak histeris.Namun kutahan.Sesekali aku menoleh kebelakang untuk berekspresi sesukaku, agar dia tak tahu.Aku sering melihatnya mengobrol dengan teman-teman perempuannya, kemudian memberikan tatapan bermakna ke arah kelasku.Dan terkadang, mereka tertawa kecil.
Kamis, 18 September 2014
Tett… Tett… Tett…
Bell istirahat kedua berdentang keras.Cukup, untuk menciptakan polusi suara.Saatnya mengisi perut yang sudah tak kuasa lagi menahan lapar. Ayam Goreng Nona, enak. Mungkin, efek lapar.Apapun makanannya, kalau lapar pasti terasa enak.Aku bersama teman-teman sekelasku berbekal massal.
“Yeay, kenyang juga akhirnya. Cuci tangan dulu ah.” seruku, langsung keluar, mencuci tangan di wastafel yang tersedia di depan kelas.
Pokkk…
Reflek aku menoleh, siapa orang yang menepuk punggungku.
“Permisi, kak.Kelas XI MIA2 siapa yang nggak masuk?”Leonardo datang sambil membawa buku absen.
Satu detik… Dua detik… Tiga detik…
Lagi-lagi, matanya membuatku berpikiran kosong.
“A…Ap… Apa, dek?” tanyaku salah tingkah.
“Kelas XI MIA2 siapa yang nggak masuk, kak?”Leonardo bertanya sekali lagi.
Kutatap matanya yang haus akan jawabanku, kemudian aku menggeleng.
“Oh, terimakasih kak.”
Aku mengangguk, diam seribu bahasa.Sungguh, aku tak berdaya untuk berkata-kata.
Segera, setelah dia pergi, aku masuk ke kelas.Berekspresi sepuasnya, sampai rasa dalam benakku keluar.Langsung kutanya Bimo, “Hari ini masuk semua, kan?”
“Deni?”
Plakkk…
Kutepuk dahiku.“Bodoh.”Bisa-bisanya, aku lupa kalau Deni absen hari ini.Langsung, aku keluar kelas mencari Leonardo. Ternyata dia masih di serambi, depan kelas XI MIA 5. Tanpa rasa malu, kali ini.Kuberlari.Kutepuk punggung anak itu.
Ngos-ngosan?Jelas.Sangat malah.Aku membungkuk, memegang lututku.Menarik napas.Menghembuskan napas.Napasku berdesir panjang.Rasanya tak kuasa untuk berkata-kata.Lelah berlari dan salah tingkah berpadu menjadi satu kesatuan.
“Ada apa, kak?” politely tanyaLeonardo.
“A… Ah… Anuu…” napasku masih tak karuan.
“Iya?” alisnya naik, sedikit heran.
“Kelas XI MIA 2, Deni nggak masuk.” akhirnya berhasil juga untuk mengatakannya.Rasanya sulit sekali, hanya untuk berkata-kata.
“Deni?”
“Deni Susanto. Absen 9” kuperjelas lagi.
“Oh, terimakasih, Kak.”Senyuman manisnya terukir jelas di wajahnya. Kugigit bibir bawahku, tak kuasa menahan diri akan hysteria ini.
“Mari, dek.”
Langsung ku berlari ke kelas.Kuceritakan semuanya ke Dilla.Dilla pun tertawa, dan turut histeris bersamaku.
Jumat, 19 September 2014
Seperti biasa, istirahat pertama pasti ke toilet melewati kelasnya Leonardo. Aku sangat bersemangat
Aneh.
“Lho, kok dia nggak nyapa kita sih?” bisik Dilla heran, mengerutkan dahi dan mempertegas alisnya.
“Iya nih.Kok nggak nyapa sih? -_-“ keluhku, bĂȘte.
Sejak itu, Leonardo tak pernah menyapaku lagi.Dia diam saja, ketika aku lewat.Aku tak tahu mengapa.Sungguh, aku bingung.
Senin, 22 September 2014
Leonardo yang biasanya berbaris paling depan saat upacara. Kini iaberbaris paling belakang. Aku tak dapat melihat wajah dan kacamata orennya lagi, dari posisiku.
Bahkan yang lebih parah lagi, ketika aku melewati kelasnya.Padahal jarak aku dan Leonardo baru 5 meter. Ialangsung masuk kelas tanpa berpikir panjang. Seperti ia tak senang melihatku, merasa risih akan kedatanganku. Ntahlah.Aku juga tak tahu.
Waktu demi waktu… Hari demi hari… Bulan demi bulan… Kujalani...
Selalu ketika bertemu,ia tak pernah mau menyapaku lagi. Selalu berbaris di posisi paling belakang saat upacara.Dan, selalu mengurung diri di dalam kelas saat aku lewat. Kini, he’s changed. Rasanya, terlalu tiba-tiba.
“Mungkin benar, tak seharusnya aku menyukai lelaki yang lebih muda, adik kelas.”


2 comments:

  1. penggunaan titik dan koma nya kurang tepat jadi agak bingung ngebaca nya. still good anyway, but i think that a story must have a lesson, message, or moral value in it right? and i think i didn't find it in yours, but its okay, thumbs up for you for trying! :)

    ReplyDelete
  2. Haha... Ya gitu deh, nggak ada moral value.. Nggak ada konflik malah.. Lebih kayak curcol.. Oke, terimakasih sarannya..

    ReplyDelete