Sunday, November 16, 2014

Jangan Buka Pintu (Cerpen)

Jangan Buka Pintu
Kamis malam kali ini, terasa berbeda. Udara terasa begitu sejuk, bahkan kesejukannya mampu menusuk kulit hingga ke ubun-ubun. “Krik krik krik…” saking sepinya, nyanyian jangkrikpun bisa didengar. Aku merasa aura mala mini sedang tidak baik. Dan parahnya lagi, listrik sedang padam. Dengan terpaksa, warga menggunakan lilin sebagai penerangan.


            Kala itu, aku tengah berada di rumah Dessy untuk berdiskusi tentang tugas sekolah. “Dess, aku pulang dulu ya. Sudah jam 9 malam nih.”. “Ya ampun, dith. Masih padam nih listriknya, kamu yakin?” jawab Dessy. “Gak apa apa, udah malem nih. Lagi pula aku juga udah bawa senter kok.” Ucapku meyakinkannya. “Ya udah, Dith. Terserah kamu. Titi DJ dan Titi Kamal ya?”. “Hahhh…!!?” tanyaku bingung. “Maksudku, hati-hati di jalan dan hati-hati kalau malam ya? Hehe :D.” ucapnya dengan ekspresi polos. “Ya ampun nih anak” kataku dalam hati seraya menggelengkan kepala
            Di perjalanan, suara jangkrik semakin menakutiku. Padahal malam mini belum terlalu larut.Ntah factor sugesti atau apa, bentuk-bentuk pohon di tepi jalan terasa berbeda. Jantungku berdetak kencang tak karuan. Aku mulai dikelilingi rasa takut. Apalagi ditambah kesepian di jalan ini, tak ada seorang pun yang lewat kecuali aku.
            Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah rumah kosong yang terletak di tepi kiri. Aku takut, namun rasa penasaran membuat kaki melangkah menuju rumah itu. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. “Oke, tenang, ditha. Pasti nggak terjadi apa-apa.” kataku menenangkan diri. Detak jantung semakin tak karuan, frekuensi nafasku semakin pendek. Sekarang, posisiku sudah di depan pintu. Dengan tangan yang bergetar, tangan kananku memegang senter, sedangkan tanganku yang satunya lagi memegang tuas pintu.
            “Heh…. Heh…. Heh….” masih dengan hembusan nafas yang berbunyi, aku mulai membuka pintu secara perlahan. Tiba-tiba “aaaaaaaaaaaaaaaaa……” aku berteriak sekeras mungkin. Ada tikus lewat ternyata. Hal itu membuatku membalikkan arah tubuhku “Aduh..”  keluhku dengan tangan mengelus dada. “Liat lagi nggak ya? Takut sih tapi penasaran.” Aku berusaha memberanikan diri untuk melihat rumah itu kembali. Aku menyalakan senter dengan tingkat penerangan teratas, yang mana kemudian aku arahkan ke sebuah kursi di sana.
“P…p….p…pocoooongggg…” Badanku keluh, keringatku dingin, tubuhku lunglai. Aku melihat sosok pocong yang tersenyum aneh menatapku. Ingin rasanya kabur, namun badanku benar-benar keluh. “Ya Tuhan, tolong!” doaku memohon pertolongan. Aku mulai menghitung “1…2….3….” keluh yang kurasakanpun perlahan menghilang. Tanpa berpikir panjang, aku lari sekencang-kencangnya, sekencang yang aku bisa.
Aneh, ketika di jalan suasananya berubah, menjadi berbeda dengan sebelumnya. Banyak orang yang lewat, tak seperti tadi, jalanan begitu sepi. Aku tak berani menoleh ke arah orang-orang. Aku hanya focus berlari sampai ke rumah.
Aku benar-benar merasa tertolong, sampai di rumah dengan selamat. Dengan cepat, aku masuk ke kamar berusaha tidur. Namun, anehnya aku tak bisa tidur, aku benar-benar tak tenang. Aku masih memikirkan tentang rumah kosong itu. Yang bisa kulakukan hanya menunggu waktu pagi. Untungnya, aku pun dapat terlelap tidur di tengah malam.
Keesokan harinya pukul 6 pagi. Dibekali rasa penasaran, aku melangkahkan akiku menuju rumah kosong. Ketika sudah di depan, aku menarik napas terlebih dulu agar dapat bersikap tenang. Kubuka pintu, untungnya tidak ada tikus. Mataku menuju ke arah kursi, aku melihat sesuatu yang putih. Kukucek mataku, bahkan sampai 3 kali kulakukan itu. “Ya ampun.. Bodohnya diriku! Itu cuman karung???” celotehku sambil menepuk jidat.
Tiba-tiba sesosok bapak-bapak menepuk punggungku. Reflek, aku langsung memutar badan dan bertanya “Bapak siapa?”. “Pak Budi. Nak, tolong jangan sembarangan buka-buka pintu rumah orang.” kata beliau. “Oh, maaf, Pak. Saya janji nggak sembarangan lagi. Oiya, Pak.. Karung yang disana itu buat apa ya?”. “Oh, itu. Ya buat masukin beras lah, nak.”.”Bapak petani?” tanyaku penasaran. “Iya, Nak.”. “Oh, kalau begitu permisi, Pak. Saya mau pergi ke sekolah dulu. Mari.”
Sesampai di sekolah, aku menceritakan cerita dari malam kemarin hingga tentang Pak Budi.”Ya ampun,, Dith, Pak Budi yang petani itu? Astaga, kamu serius? Bapak itu udah meninggal 3 bulan yang lalu.” Respon Dessy dengan ekspresi yang tak biasanya. “Apa? Yang bener? Kamu jangan nakut-nakutin aku dong.”.”Astaga, untuk apa aku bohong. Kamu nggak tau kalo 3 bulan yang lalu Pak Budi bunuh diri karena stress?” ucap Dessy yang semakin membuatku takut. “Lho, stress gimana maksudmu?” “Ya, gimana nggak stress coba. Beliau ditinggal mati istrinya. Tanah dan sawahnya disita. Bisnis berasnya bangkrut.” kata-kata Dessy semakin meyakinkanku.” “Kok aku nggak tau ya?” tanyaku dengan tubuh bergetar. “Kamu sih terlalu mengurung diri di dalam rumah.” Ucap Dessy.

Sejak kejadian ini, aku menjadi tak berani berjalan sendiri di malam hari apalagi di waktu gelap, dan juga aku tak mau lagi membuka sembarangan pintu rumah orang.

No comments:

Post a Comment