Jangan Buka Pintu
Kamis malam kali ini, terasa berbeda. Udara
terasa begitu sejuk, bahkan kesejukannya mampu menusuk kulit hingga ke
ubun-ubun. “Krik krik krik…” saking sepinya, nyanyian jangkrikpun bisa
didengar. Aku merasa aura mala mini sedang tidak baik. Dan parahnya lagi,
listrik sedang padam. Dengan terpaksa, warga menggunakan lilin sebagai
penerangan.
Kala itu, aku tengah
berada di rumah Dessy untuk berdiskusi tentang tugas sekolah. “Dess, aku pulang
dulu ya. Sudah jam 9 malam nih.”. “Ya ampun, dith. Masih padam nih listriknya,
kamu yakin?” jawab Dessy. “Gak apa apa, udah malem nih. Lagi pula aku juga udah
bawa senter kok.” Ucapku meyakinkannya. “Ya udah, Dith. Terserah kamu. Titi DJ
dan Titi Kamal ya?”. “Hahhh…!!?” tanyaku bingung. “Maksudku, hati-hati di jalan
dan hati-hati kalau malam ya? Hehe :D.” ucapnya dengan ekspresi polos. “Ya
ampun nih anak” kataku dalam hati seraya menggelengkan kepala
Di perjalanan, suara
jangkrik semakin menakutiku. Padahal malam mini belum terlalu larut.Ntah factor
sugesti atau apa, bentuk-bentuk pohon di tepi jalan terasa berbeda. Jantungku
berdetak kencang tak karuan. Aku mulai dikelilingi rasa takut. Apalagi ditambah
kesepian di jalan ini, tak ada seorang pun yang lewat kecuali aku.
Tiba-tiba, mataku
tertuju pada sebuah rumah kosong yang terletak di tepi kiri. Aku takut, namun
rasa penasaran membuat kaki melangkah menuju rumah itu. Satu langkah, dua
langkah, tiga langkah. “Oke, tenang, ditha. Pasti nggak terjadi apa-apa.”
kataku menenangkan diri. Detak jantung semakin tak karuan, frekuensi nafasku
semakin pendek. Sekarang, posisiku sudah di depan pintu. Dengan tangan yang
bergetar, tangan kananku memegang senter, sedangkan tanganku yang satunya lagi
memegang tuas pintu.
“Heh…. Heh…. Heh….”
masih dengan hembusan nafas yang berbunyi, aku mulai membuka pintu secara
perlahan. Tiba-tiba “aaaaaaaaaaaaaaaaa……” aku berteriak sekeras mungkin. Ada
tikus lewat ternyata. Hal itu membuatku membalikkan arah tubuhku “Aduh..” keluhku dengan tangan mengelus dada. “Liat
lagi nggak ya? Takut sih tapi penasaran.” Aku berusaha memberanikan diri untuk
melihat rumah itu kembali. Aku menyalakan senter dengan tingkat penerangan
teratas, yang mana kemudian aku arahkan ke sebuah kursi di sana.
“P…p….p…pocoooongggg…” Badanku keluh,
keringatku dingin, tubuhku lunglai. Aku melihat sosok pocong yang tersenyum
aneh menatapku. Ingin rasanya kabur, namun badanku benar-benar keluh. “Ya
Tuhan, tolong!” doaku memohon pertolongan. Aku mulai menghitung “1…2….3….”
keluh yang kurasakanpun perlahan menghilang. Tanpa berpikir panjang, aku lari
sekencang-kencangnya, sekencang yang aku bisa.
Aneh, ketika di jalan suasananya berubah,
menjadi berbeda dengan sebelumnya. Banyak orang yang lewat, tak seperti tadi,
jalanan begitu sepi. Aku tak berani menoleh ke arah orang-orang. Aku hanya
focus berlari sampai ke rumah.
Aku benar-benar merasa tertolong, sampai di
rumah dengan selamat. Dengan cepat, aku masuk ke kamar berusaha tidur. Namun,
anehnya aku tak bisa tidur, aku benar-benar tak tenang. Aku masih memikirkan
tentang rumah kosong itu. Yang bisa kulakukan hanya menunggu waktu pagi.
Untungnya, aku pun dapat terlelap tidur di tengah malam.
Keesokan harinya pukul 6 pagi. Dibekali rasa
penasaran, aku melangkahkan akiku menuju rumah kosong. Ketika sudah di depan,
aku menarik napas terlebih dulu agar dapat bersikap tenang. Kubuka pintu,
untungnya tidak ada tikus. Mataku menuju ke arah kursi, aku melihat sesuatu
yang putih. Kukucek mataku, bahkan sampai 3 kali kulakukan itu. “Ya ampun..
Bodohnya diriku! Itu cuman karung???” celotehku sambil menepuk jidat.
Tiba-tiba sesosok bapak-bapak menepuk
punggungku. Reflek, aku langsung memutar badan dan bertanya “Bapak siapa?”.
“Pak Budi. Nak, tolong jangan sembarangan buka-buka pintu rumah orang.” kata
beliau. “Oh, maaf, Pak. Saya janji nggak sembarangan lagi. Oiya, Pak.. Karung
yang disana itu buat apa ya?”. “Oh, itu. Ya buat masukin beras lah,
nak.”.”Bapak petani?” tanyaku penasaran. “Iya, Nak.”. “Oh, kalau begitu
permisi, Pak. Saya mau pergi ke sekolah dulu. Mari.”
Sesampai di sekolah, aku menceritakan cerita
dari malam kemarin hingga tentang Pak Budi.”Ya ampun,, Dith, Pak Budi yang
petani itu? Astaga, kamu serius? Bapak itu udah meninggal 3 bulan yang lalu.”
Respon Dessy dengan ekspresi yang tak biasanya. “Apa? Yang bener? Kamu jangan
nakut-nakutin aku dong.”.”Astaga, untuk apa aku bohong. Kamu nggak tau kalo 3
bulan yang lalu Pak Budi bunuh diri karena stress?” ucap Dessy yang semakin
membuatku takut. “Lho, stress gimana maksudmu?” “Ya, gimana nggak stress coba.
Beliau ditinggal mati istrinya. Tanah dan sawahnya disita. Bisnis berasnya
bangkrut.” kata-kata Dessy semakin meyakinkanku.” “Kok aku nggak tau ya?”
tanyaku dengan tubuh bergetar. “Kamu sih terlalu mengurung diri di dalam
rumah.” Ucap Dessy.
Sejak kejadian ini, aku menjadi tak berani
berjalan sendiri di malam hari apalagi di waktu gelap, dan juga aku tak mau
lagi membuka sembarangan pintu rumah orang.
No comments:
Post a Comment