Wednesday, October 8, 2014

Cerpen "Gadis di Stasiun Kereta"



Gadis di Stasiun Kereta (Cipt. Grace Nathania Mendur)


Gadis itu duduk disampingku. Rambut hitam dipotong sebahu jatuh terurai menutupi pipi tirus berbalut kulit pucat. Matanya menatap kosong ke depan jalur kereta. Entah apa yang tengah ia pikirkan. Walau jarak kami tak seberapa, namun gadis itu seakan membangun dinding dan menggali samudera di antara kami.  Begitu jauh dan sulit untuk kugapai.


Sesekali ia menghela nafas. Mungkin lelah. Pikirku. Kakinya yang menggantung diayun-ayunkan dengan cara yang canggung. Kepalanya menunduk menatap kedua kakinya yang tengah berayun. Tak lama kemudian, gadis itu mengakat pandangannya jauh ke arah bintang-bintang. Bibirnya ia sunggingkan dengan susah payah. Hingga kepalanya kembali jatuh tertunduk menatap debu di lantai stasiun. Bahunya berguncang hebat.
Apa yang terjadi padanya? Hatiku bertanya-tanya. Saat itulah aku sadar, gadis itu tengah menangis. Ia begitu merana akan kesedihan yang ia alami. Isak tangisnya begitu menyesakkan dada tiap yang mendengarnya.
“Maafkan aku,” bisik gadis itu. Berulang kali ia mengucapkan maaf. Aku tidak tahu siapa yang ia tuju. Permintaan maafnya terdengar penuh penyesalan. Diiringi tangis yang tersedu-sedu ia mulai bercerita, “aku hanya tidak tahu bagaimana aku bisa menyampaikan perasaanku. Semua yang aku lakukan selalu salah. Selalu saja menahanku untuk tidak menitikkan air mata barang setetespun.  Bahkan tidak meminta apalagi mendengar penjelasan dariku. Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Suaranya bergetar dan parau.
Perasaan iba menghampiri relung hatiku. Si gadis sekarang terlihat ringkih. Tubuhnya seakan-akan menciut dari wujud aslinya. Wajahnya ditangkupkan pada kedua telapak tangan dan tangisnya pun semakin jadi.
“Aku letih membisu!” Amarahnya kian memuncak.
“Mengapa tak sekalian saja kau lempar pisau kepadaku biar aku mati tertusuk?!” Dihempaskannya tas yang sedari tadi tergeletak manis disampingnya. Nafasnya menjadi tak keruan akibat emosi yang membuncah begitu saja dari dalam dirinya.
Gadis itu kembali duduk di bangku tunggu. “Bapak jahat,” dengan geram ia menarik rambut indahnya. Tanpa peduli rambutnya akan rontok. Sejenak ia terdiam seraya berkata, “Andin sayang Bapak,” kulihat gadis itu tersenyum. “Bapak sayang Andin tidak?” Ia melengkungkan badannya. Berbaring di tengah dinginnya malam. Memeluk dirinya sendiri, mencari kehangatan.
Semoga engkau diberikan semangat serta kekuatan untuk memulai hari esokmu, gadis kecil. Aku mengeong, lalu ikut tertidur di bawah bangku.

No comments:

Post a Comment