Saturday, May 16, 2015

Because of You

"Saran aku sebagai penulis sih, nggak usah dibaca deh ya! Ni cerita gaje banget sumveh -_-. Waktu nulisnya lagi kurang kerjaan aja. Sekedar ngepost aja sih. Mau baca silakan, nggak pun ndak papa."

Cipt. Dwi Ditha Putri


Ku duduk di bangku serambi, menikmati senja mengalungi permukaan bumi. Sendiri. Ku lihat orang-orang. Begitu ramai. Datang menghampiriku. Lebih tepatnya menghampiri rumahku. Ups, rumah kedua orangku, maksudku. Keluarga dari ibu, rupanya.
        “Masuk…” kudentangkan tangan ke arah pintu yang memang terbuka dari tadi, menyilahkan masuk dengan ekspresi bingung.
        Ramai. Rumahku ramai sekali, dipenuhi orang-orang yang lincah dan bergairah untuk berbicara. Aku sendiri mengurung diriku di dalam kamar, ‘sok’ sibuk belajar.
“Dewi, keluarlah! Sapa gih sepupumu. Bergaul sama mereka.”
        Baiklah. Itu ibuku. Sosok ibu seperti ibu-ibu pada umumnya. Suka ngomel, suka ceramah, suka ngasih perintah. Ya, biasalah ibu-ibu seperti itu.
        Aku? Aku sendiri. Bisa dibilang Anak Rumahan. Lebih sering berada di dalam kamar. Jarang berinteraksi social, dan berbicara sepentingnya saja. Kata orang-orang pendiam. Aku tak sedingin seperti yang orang-orang katakan. Dibalik ke-diam-an yang kulakukan, sebenarnya terselip rasa ingin ngobrol. Walaupun, sulit bagiku untuk kulakukan.
        Kucoba untuk memberanikan diri bergaul dengan sepupuku, Iga. Umur kami, sepantaran. Aku satu tahun lebih tua darinya. Kulihat, ia tengah bermain bersama adiknya yang paling bungsu, masih balita, di serambi.
        “Hai?” masih suara hatiku yang berbicara, aku belum berani untuk memulai per-gaul-an ini.
        “Kak Dewi? Duduk sini” dia menyapaku.
Ternyata dia yang mulai per-gaul-an ini. OK, langkah yang baik untuk bergaul.
        “Udah kelas berapa kak?”
        “12” jawabku singkat, aku bingung bagaimana harus berinteraksi sosial yang baik.
        “Lagi libur ya kak?”
        “Iya “
        “Kapan masuk lagi, kak?”
        “5 Januari 2014.”
Beberapa pertanyaan ia lemparkan, (tentu) aku  menjawabnya singkat. Mungkin bukan singkat lagi, tapi terlalu singkat. Sehingga (mungkin), ia bosan bertanya padaku.
Keheningan pun terjadi…
“I don’t know what should I do (say)”. Hening, hanya terdengar balita yang sedang asyik bermain. Ku ambil ponselku yang daritadi terselip di kocekku. Ku berpura-pura memeriksa sms. Padahal, nihil.
3 hari lamanya…
Keluarga besarku berada di rumah, tanpa interaksi social yang jelas antara aku dan anggota keluarga besar yang lain.
Rumahku kembali diselimuti kesepian. Lagi, aku duduk di bangku serambi, sibuk menikmati senja. Ada yang datang, menghampiriku. Seorang ayah, ibu dan 1 anak laki-laki, nampaknya seusia denganku.
“Permisi. Blok K8 dimana yah?” kata laki-laki itu, tersenyum ramah. Manisnya…
“Itu di depan” kutunjuk depan rumahku, karena rumahku blok J8.
“Wah tetangga baru rupanya.” Batinku dalam hati.
“Oh, terima kasih banget ya.”
Esok pagi…
Tok tok tok…
Kubuka pintu.
“Maaf mengganggu. Warung di dekat sini, dimana ya?” laki-laki itu lagi. Maklum, tetangga baru.
“Di sana.” kutunjuk arahnya.
“Maaf sekali lagi. Boleh antarin aku ke sana? Aku masih belum tahu jalan di daerah sini. Ya, please?”
Aku bingung, aku berpikir sejenak. Mungkin, ini langkah yang baik untuk bergaul dengan orang. Jadi , kujawab “Ya.”
Di perjalanan…
“Nama kamu siapa? Kenalin, namaku Brian.” dia menyodorkan tangan.
Ku bersalaman dengannya, kujawab singkat (lagi) “Dewi.”
“Wah, keren namamu.”
Di sepanjang perjalanan, dia selalu bertanya, tentangku. Semua pertanyaan yang dilontarkannya, pasti kujawab. Tapi ya begitulah, jawaban yang singkat. Aku bingung juga, kenapa dia tak bosan-bosan untuk bertanya padaku, mungkin jawaban singkatku membuatnya penasaran? Ntahlah.
“Kamu suka baca buku nggak?” tanya Brian.
“Buku? Novel maksud kamu?”
“Iya. Kamu paling suka buku apa?”
“The Book” ku jawab, karena itu memang novel favorite ku.
“Lho kok bisa sama ya? Itu buku favorite aku juga.”
“Serius?” ku bertanya heran, karena buku ini kurasa tidak terlalu terkenal.
Ternyata kami memiliki hobby yang sama, aku pun mulai merasa akrab dengannya. Ia benar-benar tetangga yang baik. Prestasi di sekolahnya pun baik, sama sepertiku. Dia jago untuk pelajaran matematika, sedangkan aku cukup baik (lumayan lah…) dalam pelajaran bahasa inggris.
Jadi, setiap ada tugas matematika, aku selalu meminta bantuannya untuk mengajariku. Sebaliknya, jika dia ada PR bahasa inggris, aku yang membantunya. Kami sering berdiskusi bersama. Saking akrabnya kami, lebih sering menghabiskan waktu berdua, orang-orang berpikir kami pacaran. Padahal selama kami ngobrol, tak pernah kami membicarakan tentang apapun yang berhubungan dengan "cinta". Jadi rasanya agak tidak mungkin.
Aku memang tak banyak bicara. Jadi hanya ada 3 orang yang bisa membuatku berbicara lebih banyak, yaitu Ayahku, Ibuku dan Brian. Kini, Brian benar-benar jadi partner curhatku, sekaligus juru bicara jika aku takut untuk berbicara dengan orang lain. Ia juga sering mengajariku bagaimana cara berinteraksi social yang baik.
Sudah  1 tahun…
Aku mulai mengalami perkembangan dalam berinteraksi social. Aku juga sudah tidak memerlukan juru bicara lagi. Karena aku tidak malu bertanya lagi. Ya walaupun, belum bisa sebaik Brian dalam berinteraksi social.
Bagus memang, aku sudah pandai berbicara. Tapi tak bagusnya, Brian mau meninggalkan kompleks perumahan ini, pindah rumah. Sayang sekali, aku harus kehilangan tetangga sepertinya. Padahal ia sudah sukses mengajariku matematika dan interaksi social.
“Good bye. Jangan merindukan aku. :P” Sempat-sempatnya ia bercanda di tengah perpisahan ini.
“Da..dah…” kulambaikan tanganku, ia mulai menjauh dengan mobil keluarganya.
Tak seperti di film-film, perpisahan yang sulit dilakukan. Perpisahan kami memang tak sulit, tapi…………… Perpisahan ini justru menggores luka di hati kami, hingga membekas, bahkan 10 tahun lamanya.
Sukses. Ajaran Brian benar-benar sukses. Aku sungguh bangga pernah menjadi salah satu bagian dalam hidupnya. Percaya atau tidak, kini aku telah menjadi seorang tour guide di Bali. Aku tak malu lagi untuk berkata-kata, malah semakin hari semakin senang aku berinteraksi social. Makin ramah, kata orang.
Tentang Brian? Aku tak tahu. Sejak perpisahan itu, kami tak pernah berhubungan lagi. Aku harap dia menemukan profesi yang diimpikannya selama ini, Guru Matematika.
Terima kasih, Brian J


No comments:

Post a Comment