Monday, November 3, 2014

Aturan atau Solidaritas? (Cerpen)

Aturan atau Solidaritas?

“Ada kalanya saat kau tak ingin menangis, air matamu jatuh dengan sendirinya.”
            Di pikiranku sama sekali tak terselipkan rasa ingin menangis, bahkan sedikitpun. Bukan karena Adi, Helen, apalagi 34 temanku yang membuatku dihantui rasa bersalah.
            Sempat-sempatnya, muncul di pikiranku “Tak selamanya berbuat baik menghasilkan sesuatu yang baik.” Aku tak menyangka saja, bersikap jujur adalah suatu kesalahan besar bagi mereka.


Aku heran, mengapa mereka begitu mudahnya mengubah prinsip yang mereka pegang. Pernah, suatu ketika “Pak, Gina makan permen!”. “Ush, diam-diam dong. Teman sendiri , juga!” bela ku. “Eits, aturan harus tetap berjalan!” ucapnya. “Heran deh, perasaan tuh anak selalu memprioritaskan solidaritas dari pada aturan. “ pikirku bingung. Pak Anang memanggilku “Gina, sini! Buka kedua tanganmu.”.
Prokkk……………………………prokkk…………………………………..prokkkk…………………………….
Tanganku menanggung siksaan perih oleh pukulan penggaris milik Pak Anang.
Sejak itu, aku jadi berpikir “Aturan lebih penting dari pada solidaritas. Kalau kita terlalu memikirkan solidaritas, aturan tak akan berjalan.” Hingga suatu ketika, Senin 1 November 2010 Ulangan Kimia. 75% di antara kami tidak siap untuk melaksanakan ulangan.
Pak Budi mengambil spidol, menuliskan di papan tulis “Hidrolisis Garam”. Teman-temanku mengelus dada tanda keleganan. “Kok materi baru, Pak? Hari ini kan ulangan.” kataku. Semua mata menatapku sinis.
Reflek, Pak Budi menepuk kepalanya tanda ia baru ingat. “Oiya, bapak lupa! Terima kasih, Gina. Jadi anak-anak tutup buku kalian! Hari ini kita ulangan.”
Hendra, yang paling sok berkuasa di kelasku jelas paling marah. Tatapan jelas-jelas menandakan amarah besar. Aku diam tertunduk mengerjakan soal, sekaligus dihantui rasa bersalah sampai ulangan selesai.
Apakah salah menjadi orang yang jujur? Aku tak menyangka saja, Hendra sampai semarah itu. Aku yang sedang merasa bimbang dan bingung, jelas terpampang di ekspresiku. “Dasar cengeng!” dengan nada membentak.
“Cengeng? Nangis dari mana? Jauh banget! Aku cuma bingung.” pikirku. Kemudian kuputar balik badanku dan menatapnya dengan sinis. Lalu kembali seperti keadaan awal dengan memutar balik badan.
Tak tahu mengapa, tiba-tiba dadaku sesak. Napasku tidak stabil, ngos-ngosan. Rongga hidungku membasah. Mataku mulai basah, kemudian berair hingga jatuh ke pipi. Aku berusaha menenangkan diri “Lha, kok nangis? Jangan nangis!.” Aku menyemangatkan diri agar tak menangis.
“Lho, gina. Kamu nangis? Jangan nangis dong. Aku nggak nyalahin kamu kok.” Helen menghiburku. Heran, semakin orang-orang menghiburku, makin sesak dadaku, makin deras air mataku.
Aku ingin sekali menjawab “Aku nggak nangis karena kalian. Tapi karena orang itu, Hendra!”. Tak habis pikir aku, bisa-bisanya Hendra semakin menjatuhkanku “Dasar cengeng! Nggak nyadar umur. Udah gede juga!.”
Aku memang sering sekali mendengar dia memakai kata-kata itu untuk membully orang lain. Dia memang orangnya sok senior, sok berkuasa, dan sok hebat. Dia tidak bisa menghargai orang. Ingin rasanya aku menjawab, tapi sesak napas yang kuderita membuatku tak mampu berkata-kata.
“Sekarang aku tanya, orang tuamu udah gede kan pasti!!? Emangnya bapakmu, ibumu nggak pernah nangis? Berarti orang tuamu cengeng, gitu kalo nangis saat dewasa? Aku kasih tau kau  ya! Lebih baik menangis dari pada membuat orang menangis. Karena dengan membuat orang menangis, itu artinya kau telah menyakiti perasaan orang itu dan nggak menghargainya sebagai manusia!” ingin banget kujawab seperti, namun apa daya tangan tak sampai.
Setelah ku pikir-pikir, bagus juga aku tidak menjawab, karena hanya akan menciptakan masalah baru. Tapi, aku ingin sekali dia sadar, agar tidak bersikap sok berkuasa dan harus bisa menjaga perasaan orang. Kalau pun mau bercanda, ya tetap harus tau batas.
Dia, dengan nada kesal dan ekspresi tanpa rasa bersalah datang dan berkata “Maaf.” seraya  menyodorkan tangan. Langsung aku balas “TIADA MAAF BAGIMU”. Begitu mudah baginya pergi lagi dan berkata “Ya sudahlah. Terserah!”.
Sudah kubilang, dia memang tak merasa bersalah. Ngapain juga harus dimaafin?

Biarkan saja Tuhan yang menegurnya.

No comments:

Post a Comment