Aturan atau Solidaritas?
“Ada
kalanya saat kau tak ingin menangis, air matamu jatuh dengan sendirinya.”
Di pikiranku sama sekali tak
terselipkan rasa ingin menangis, bahkan sedikitpun. Bukan karena Adi, Helen,
apalagi 34 temanku yang membuatku dihantui rasa bersalah.
Sempat-sempatnya, muncul di
pikiranku “Tak selamanya berbuat baik menghasilkan sesuatu yang baik.” Aku tak
menyangka saja, bersikap jujur adalah suatu kesalahan besar bagi mereka.
Aku
heran, mengapa mereka begitu mudahnya mengubah prinsip yang mereka pegang.
Pernah, suatu ketika “Pak, Gina makan permen!”. “Ush, diam-diam dong. Teman
sendiri , juga!” bela ku. “Eits, aturan harus tetap berjalan!” ucapnya. “Heran
deh, perasaan tuh anak selalu memprioritaskan solidaritas dari pada aturan. “
pikirku bingung. Pak Anang memanggilku “Gina, sini! Buka kedua tanganmu.”.
Prokkk……………………………prokkk…………………………………..prokkkk…………………………….
Tanganku
menanggung siksaan perih oleh pukulan penggaris milik Pak Anang.
Sejak
itu, aku jadi berpikir “Aturan lebih penting dari pada solidaritas. Kalau kita
terlalu memikirkan solidaritas, aturan tak akan berjalan.” Hingga suatu ketika,
Senin 1 November 2010 Ulangan Kimia. 75% di antara kami tidak siap untuk
melaksanakan ulangan.
Pak
Budi mengambil spidol, menuliskan di papan tulis “Hidrolisis Garam”. Teman-temanku
mengelus dada tanda keleganan. “Kok materi baru, Pak? Hari ini kan ulangan.”
kataku. Semua mata menatapku sinis.
Reflek,
Pak Budi menepuk kepalanya tanda ia baru ingat. “Oiya, bapak lupa! Terima
kasih, Gina. Jadi anak-anak tutup buku kalian! Hari ini kita ulangan.”
Hendra,
yang paling sok berkuasa di kelasku jelas paling marah. Tatapan jelas-jelas
menandakan amarah besar. Aku diam tertunduk mengerjakan soal, sekaligus
dihantui rasa bersalah sampai ulangan selesai.
Apakah
salah menjadi orang yang jujur? Aku tak menyangka saja, Hendra sampai semarah
itu. Aku yang sedang merasa bimbang dan bingung, jelas terpampang di
ekspresiku. “Dasar cengeng!” dengan nada membentak.
“Cengeng?
Nangis dari mana? Jauh banget! Aku cuma bingung.” pikirku. Kemudian kuputar
balik badanku dan menatapnya dengan sinis. Lalu kembali seperti keadaan awal
dengan memutar balik badan.
Tak
tahu mengapa, tiba-tiba dadaku sesak. Napasku tidak stabil, ngos-ngosan. Rongga
hidungku membasah. Mataku mulai basah, kemudian berair hingga jatuh ke pipi.
Aku berusaha menenangkan diri “Lha, kok nangis? Jangan nangis!.” Aku
menyemangatkan diri agar tak menangis.
“Lho,
gina. Kamu nangis? Jangan nangis dong. Aku nggak nyalahin kamu kok.” Helen
menghiburku. Heran, semakin orang-orang menghiburku, makin sesak dadaku, makin
deras air mataku.
Aku
ingin sekali menjawab “Aku nggak nangis karena kalian. Tapi karena orang itu,
Hendra!”. Tak habis pikir aku, bisa-bisanya Hendra semakin menjatuhkanku “Dasar
cengeng! Nggak nyadar umur. Udah gede juga!.”
Aku
memang sering sekali mendengar dia memakai kata-kata itu untuk membully orang
lain. Dia memang orangnya sok senior, sok berkuasa, dan sok hebat. Dia tidak
bisa menghargai orang. Ingin rasanya aku menjawab, tapi sesak napas yang
kuderita membuatku tak mampu berkata-kata.
“Sekarang
aku tanya, orang tuamu udah gede kan pasti!!? Emangnya bapakmu, ibumu nggak
pernah nangis? Berarti orang tuamu cengeng, gitu kalo nangis saat dewasa? Aku
kasih tau kau ya! Lebih baik menangis
dari pada membuat orang menangis. Karena dengan membuat orang menangis, itu
artinya kau telah menyakiti perasaan orang itu dan nggak menghargainya sebagai
manusia!” ingin banget kujawab seperti, namun apa daya tangan tak sampai.
Setelah
ku pikir-pikir, bagus juga aku tidak menjawab, karena hanya akan menciptakan
masalah baru. Tapi, aku ingin sekali dia sadar, agar tidak bersikap sok
berkuasa dan harus bisa menjaga perasaan orang. Kalau pun mau bercanda, ya
tetap harus tau batas.
Dia,
dengan nada kesal dan ekspresi tanpa rasa bersalah datang dan berkata “Maaf.”
seraya menyodorkan tangan. Langsung aku
balas “TIADA MAAF BAGIMU”. Begitu mudah baginya pergi lagi dan berkata “Ya
sudahlah. Terserah!”.
Sudah
kubilang, dia memang tak merasa bersalah. Ngapain juga harus dimaafin?
Biarkan
saja Tuhan yang menegurnya.
No comments:
Post a Comment